Seberapa pesat perkembangan perekonomian di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu? Paling tidak bisa dilihat dari antrian BLSM yang didapat. namun pembahasan kali ini tidak berfokus di sana. Namun seberapa besar Terisi mampu menyediakan lapangan pekerjaan, ketika putera-puterinya berada pada usia produktif. sanggupkah Terisi menyediakan lapangan kerja yang memadai. Pada kenyataannya, Terisi termasuk di dalamnya desa Cibereng belum mampu mengarah pada hal tersebut.
Data kasat mata memperlihatkan tidak lebih dari 10% lulusan SMK/sederajat yang tertampung untuk memeperoleh pekerjaan dengan standar UMR. Dan lebih dari 50% lulusan yang memperoleh pekerjaan diluar kecamatan Terisi. bahkan yang lebih miris, ternyata mereka yang dianggap berpotensi adalah mereka yang dengan sadar meninggalkan Terisi sebagai kampung halamannya untuk bertaruh dengan pekerjaan dengan lingkup di luar kecamatan Terisi, di luar Kabupaten Indramayu, di luar Propinsi jawabarat, bahkan hingga ke luar Indonesia (TKI).
Maka cukup beralasan jika muncul pertanyaan. SIAPAKAH YANG AKAN MEMBANGUN Terisi, ketika Putera-Puterinya sebagai generasi Penerus malah berkutai dengan peluh di luar Terisi. Ironi ini kian kabur ketika ternyata perolehan angka upah di luar Terisi lebih tinggi, sehingga secara umum mengamini para penerus berada di luar Terisi.
Tongkat estafet Pembangunan menjadi minim, karena mereka yang berpotensi tidak turut serta berperan di dalamnya. Mereka tersibukan dan berada di luar garis pembangun Terisi. memberi ruang yang besar bercokolnya sistem yang tidak TERBARUKAN atau selalu turun trmurun tanpa kreatifitas dan inovasi.
lalu..., apa yang menjadi solusi? tentu banyak hal yang bisa dilakukan, dimulai dari pembukaan lapangan kerja yang memadai. Namun lebih dari itu penanaman jiwa entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi solusi yang layak di lirik. Melahirkan Lulusan yang tidak melulu menganggap harus siap kerja dengan melamar/bekerja pada instansi atau orang lain, tapi melahirkan lulusan yang mampu membuka lapangan pekerjaan untuk dirinya bahkan untuk orang lain.
Benar bekerja itu lebih baik daripada menganggur, namun menanamkan bahwa generasi untuk tidak terjebak menjadi KULI adalah prestasi tersendiri. Biarkan mereka menjadi para generasi yang siap untuk berkembang pesat dengan segala resikonya, berkembang sebagai manajer paling tidak untuk dirinya sendiri.
Banyak ruang yang belum diperkenalkan dengan jelas pada para pemuda Terisi, sangat banyak celah, semisal dunia konveksi, dunia perbataan, dunia perkebunan, dunia niaga, dunia jasa dan lain lain.
Bagaimana mungkin Terisi memberikan ruang yang menjanjikan pada para pendatang, namun tak disentuh oleh warga lokalnya sendiri. Butuh contoh? Warung bakso menjadi milik pendatang, Counter HP milik pendatang, Penjaja dan warung jamu milik pendatang dan lain-lain. Hal ini menggambarkan bahwa Terisi menjadi Gudang Konsumerisme dan lebih parah lebih dari setengahnya KULI.
Apakah ada yang salah dengan kata-kata KULI? Tentu tidak, namun tantangan menjadi majikan tentunya lebih berat dari pada sekedar menjadi Kuli, dan mayoritas sangat tidak mungkin bayaran kuli lebih tinggi dari majikannya.
Pertanyaan terakhir. Beranikah para generasi muda Terisi untuk meninggalkan jiwa kulinya dan bersiap untuk lebih berat menjadi seorang Manajer (Majikan)?............................
Jawabanya jelas PASTI BISA